Sabtu, 08 Desember 2012

Hidup Itu Tidak Seperti yang Kita Rencanakan

Pemimpin redaksi Jurnal Populer Plu­alita Avicenna Sabir Laluhu yang dite­mani kader HMI Komisariat Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Komfakda) Cabang Ciputat Tb. Hasan, menyambangi rumah alumni IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan HMI Cabang Ciputat Tb. Ace Hasan Sadz­ily di kediamannya Gria Jakarta jalan Kemang V blok B 7 nomor 3 Pamulang Tangerang Selatan Banten pertengahan Tahun 2012 lalu. Ramah, bersahaja, dan murah senyum kesan itu muncul ketika awal pertama kali pertemuan kamu dengan Ace sapaan akrabnya. Dengan senyum yang tersungging Ace menyapa kami, “Sudah lama ya sampainya?, si­lahkan masuk. Maaf baru sempat melu­angkan waktunya.”
Setelah memasuki rumah kami dipersilahkan untuk duduk berceng­kerama dan bercerita dengan Ace di ruang tamu tentang masa kecil hingga aktivitasnya kini sebagai Staf Dewan Pertimbangan Presiden (watimpres) Bidang Pengembangan dan Pemban­gunan Daerah. Ditemani sang istri Rina Fitria yang sangat dicintainya, Ace ke­mudian menuturkan kisah perjalanan hidupnya.

Kapan Abang dilahirkan? Tttl? Di keluarga seperti apa Abang dibesar­kan?
Saya itu lahir di Labuan tepatnya sih di kampung Jaha, sekitar 2 km dari kota kecamatan. Kalau latar belakang keluarga sih relatif. Kita kental dengan suasana keagamaan karena kebetulan ayah dan ibu saya dianggap sebagai to­koh agama di kampung. Dan kebetulan kita punya pesantren kecil-kecilan. Di situ proses interaksi sosialnya memang lebih kental dengan suasana santri ya. Saya setiap hari selalu digembleng dengan sejumlah nilai-nilai keagamaan yang kuat dan melekat pada diri saya. Cuma, mungkin saya kira yang mem­buat kenapa itu kemudian berpengar­uh terhadap paradigma kehidupan saya adalah karena mungkin ayah saya dan keluarga saya pada umumnya lahir dari sosok pergerakan juga. Ayah saya itu selain sebagai kiai tapi juga dulu aktif di NU. Jadi kalau di Banten itu kan ada konfigurasi kekuatan sosial politaknya itu kan ada NU, Muhammadiyah, dan juga Mathla’ul Anwar.

Prinsip hidup yang Abang pegang hingga saat ini?
Diantara keluarga kami misalnya dari anak-anak yang hingga saat ini jika prinsip dia sudah belajar dan menda­patkan ilmu, ya kerjakanlah dengan keyakinan yang dimiliki. Jadi prinsip-prinsip itu yang tertanam kuat pada diri kami dan saya merasakan itu ya seperti yang sekarang ini. Kami selalu diajarkan hidup mandiri, ya misalkan sejak lulus SD, pesantren dan lulus ku­liah saya jarang tinggal dirumah. Jadi dari situlah kami merasa pendidikan kemandirian ditanamkan.

Apa cita-cita Abang sebelum kuliah?
Cita-cita saya masih kecil ya saya meneruskan apa yang telah dirintis oleh ayah saya, ya sederhana lah, kar­enakan tipe atau sosok saya kaya ayah saya, ngaji,disukai masyarakat jadi ora­tor ulung. Jadi hidup itu nggak seperti yang direncanakan juga.

Kenangan masa kecil hingga sebe­lum masuk UINJakarta, seperti apa?
Ya kalo yang paling berkesan buat saya sebenernya banyak, tetapi proses penggemblengan aktifisme yang dimu­lai dari SMP sampai dikampus itu. Lalu saya tidak pernah membayangkan saya bisa jadi seorang aktifis seperti seka­rang karena dulu saya hanya punya cita-cita sederhana saya ingin seperti ayah saya. Saya sudah mau selesai ku­liah tahun ’98 lalu saya ingat, saat saya balik kekampung mau menyelesaikan skripsi saya dan tiba-tiba teman saya dikampus telepon minta CV da foto saya, saya ga tau buat apa. Lalu saya sudah menyelesaikan skripsi saya 3 bab dan balik ke Ciputat, dan saya kaget ketika di pintu gerbang kampus terpampang banyak sekali foto saya sebagai calon pesiden mahasiswa. Saya tidak pernah punya keinginan untuk itu, karena saya berpikir tugas saya selesai sebagai aktifis setelah menurunkan Soeharto. Tetapi ternyata saya datang ke kampus foto saya sudah dimana-mana diusung sama teman-teman HMI sebagai calon Presiden mahasiswa yang berangga­pan tidak ada lagi orang yang mampu semagat reformasi dikampus. “okelah saya maju, bismillah” dan pada saat itu menang mutlak, saya dapat 1800, la­wan saya cuma dapat 175 dan 89.

Mengapa Abang memilih untuk masuk ke UIN Jakarta?
Dulu sebenarnya saya tidak mau masuk UIN,saya masih ingat tahun ’94 saya keluar SMA, kalau liburan sekolah dulu itu saya sering ke Jogja, jadi saya ingin ke Jogja. Saya daftar di UGM, ta­kut ga diterima di UGM saya daftar juga di UII ambil Hukum. Di UGM ambil Fil­safat dan saya daftar juga di UIN Jogja, jadi saya daftar tiga-tiganya. Setelah pendaftaran saya balik ke Labuan saya tunggu informasi diterima atau tidak, tiba-tiba ayah saya datang beliau bilang daftar di UIN Jakarta dulu IAIN. Saya in­gat ada senior saya namanya Saiful Mu­jani datang jemput dan disuruh ayah saya ikut daftar, awalnya saya bilang Ga’ mau . malam-malam saya berang­kat ke Jakarta dan saya daftar di IAIN Jakarta. Hari senin tes, dan dua minggu kemudian surat itu semua datang bera­maan, di UGM diterima, di UII diterima semua diterima termasuk IAIN Jakarta. Saya tanya ke ayah saya, “bagaimana ini?”, “udah di IAIN Jakata saja” kata ayah saya, yaudah saya ke Jakarta. Jadi dulu saya ga pernah niat masuk IAIN Jakarta.

Apa yang paling berat dalam men­jalankan amanah sebagai Presiden Mahasiswa?
Tidak ada sesuatu yang berat kalu kita mau menjalani dengan baik. Hal yang terpenting menurut saya adalah kemauan keras kita untuk melaksana­kan itu sesuai dengan kapasitas yang kita miliki. Satu hal yang membuat ke­napa kita mampu untuk membangun dan mengelola sesuatu itu menjadi leb­ih baik itu karena kita ga bisa berjalan sendiri, ada hal yang memang perlu kita kerjasamakan. Mungkin pada saat itu saya jadi presiden mahasiswa tidak akan berhasil jika tidak ada teman-te­man saya seperti Burhanudin Muhtadi sebagai menteri intelektual waktu itu, kemudian Imam Suyuti sebagai men­teri kemahasiswaan, Ali Irfan Menteri Hubungan Antar Lembaga, kemudian Andri Syafrani Menteri Hukum. Dan jadi orang-orang itu yang membantu saya, saya dan mereka membangun sebuah tim yang kemudian proses-proses itu­lah yang menjadi pembelajaran-pmbe­lajaran untuk kita.

Gerakan mahasiswa dan intelektu­alitas di masa itu seperti apa?
Ya itu yang saya rasakan. Mung­kin suasana zaman waku itu yang me­mungkinkan intelektualisme dan ak­tifisme berjalan beriringan. Saya dulu lebih banyak aktif di FORMACI, LSADI. Dan di Ciputat dulu menjamur sekali kelompok-kelompok study, anak PMII bikin PIRAMIDA ada Lespendeo dan macem-macem lah kelompok study itu.

Apakah ada bayangan atau keingi­nan Abang menjadi watimpres?
Gini, saya itu kan tahun 2009 gagal jadi anggota DPR RI tapi buat saya sih ga ada masalah dan saya tidak seperti orang lain yang stress, perbedaan suara saya dengan di atas saya itu sangat ti­pis sekali, kata teman-teman kesalahan saya cuma satu karena saya ga mau curang, ya bagi saya ga ada masalah. Buat saya itu bagian dari pembelajaran politik untuk masyarakat, dan di situ saya bisa tau proses interaksi dengan masyarakat, bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat itu. Dan ini jadi tantangan untuk tetap aktif di dunia politik karena persoalan-persoalan seperti inilah yang harus diselesaikan oleh pendekatan politik, soal kemiski­nan, soal keterbelakangan dan seba­gainya. Kalau tanpa politik saya punya keyakinan kita tidak bisa menyelesai­kan persoalan bangsa ini.

Pada bidang apa konsentrasi ker­janya?
Saya menangani pembangunan otonomi daerah, banyak hal yang saya berikan masukan kepada Presiden, tentang berbagai isu-isu yang terkait tentang pembangunan otonomi daer­ah. Misalnya tentang jalannya otonomi daerah sekarang, banyak hal misalnya alokasi pembangunan daerah yang tidak terarah, tidak ada sinkronisasi pemerintah pusat dengan daerah, tidak berlangsungnya proses pembangunan yang diharapkan, oleh karena itu saya memberikan masukan kepada bapak presiden tentang bagaimana organisasi pemerintahan dan manajemen pem­bangunan ini harus dibenahi

Bagaimana Abang melihat pekerjaan tersebut?
Salah satu yang paling utama ada­lah ketika di tengah keruwetan peker­jaan yang luar biasa, itu adalah ketika saya bisa melihat bagaimana kesulitan yang dialami oleh rakyat, walaupun saya tidak bisa berbuat apa-apa tapi ke­mudian dari situlah kita selalu di asah nurani kita supaya tetap tidak keluar dari hati nurani rakyat.

Setelah Abang menjadi watimpres dan mengunjungi daerah-daerah, bagaimana Abang melihat Indone­sia?
Saya melihat indonesia itu tentu dari banyak persepektif, saya selain keliling Indonesia juga berkesempatan jalan keluar negeri, saya pernah men­gunjungi Jepang, Amerika, negara-neg­ara tetangga. Dan proses saya melihat Indonesia itu ketika membandingkan dengan negara-negara itu saya selalu menangis, saya melihat bagaimana mis­alnya saya jalan ke Papua Barat, di sana ada pulau terindah di Raja Ampat itu, dan saya pernah jalan juga ke Wakatoli itu juga indah sekali. Dari situ saya bisa melihat betapa kayanya bangsa Indone­sia dan itu saya kira tidak dimiliki oleh negara lain. Tapi masalahnya adalah kekayaan bangsa kita ini tidak mampu dikelola dengan baik. Ada yang salah tentang pengelolaan bangsa ini, nyaris kita ga punya visi sebagai sebuah bang­sa, mau dibawa kemana arah bangsa kita

Abang adalah salah satu pionir ko­munitas AIC, bagaimana Abang me­lihat komunitas ini?
Saya Masuk HMI tahun ‘94. Dulu ketika di HMI itu ada faksi-faksi, dan saya ini kan ga punya faksi apa-apa tapi mampu menjadi gerbong untuk teman-teman. Waktu saya naik jadi Presiden mahasiwa saya tidak didukung oleh HMI, tidak didukung oleh cabang ter­masuk kebijakan saya ketika menjabat. Dan akhirnya teman-teman HMI saya fasilitasi, kita berdiskusi di Aula Insan Cita, dari sinilah kita menjadi satu ko­munitas.

Pandangan Abang tentang KAHMIdan HMIseperti apa?
Seharusnya KAHMI itu ga usah ikut-ikutan untuk mencampuri, menginter­vensi teman-teman HMI. KAHMI tidak perlu mencampuri urusan-urusan in­ternal HMI, apalagi mengintervensi un­tuk kepentingan politik KAHMI. Untuk permasalahan teman-teman HMI harus menyelesaikan sendiri.

Bagaimana pendapat Abang tentang gerakan mahasiswa saat ini?
Pertama bahawa gerakan maha­siswa itu harus ditempatkan dalam sebuah gerakan moral, gerakan mahasi­wa itu bukan gerakan politik. Kemudian gerakan mahasiswa akan berkembang jika memang situais politiknya me­mungkinkan gerakan mahasiwa itu un­tuk eksis. Di negara demokratis gerakan mahasiswa pasti punya posisi yang san­gat strategis karena peran kritis, peran keseimbangan politik kalo secara for­malnya oleh partai oposisi kalau secara tidak formalnya oleh kelompok civil so­ciety dimana mahasiswa masuk keda­lamnya. Harapan saya untuk gerakan mahasiswa sekarang khusunya teman-teman HMI perkuat kapasitas keilmuan yang mereka miliki,

Statement Abang terakhir dalam wawancara ini untuk mahasiswa dan kader HMI?
Pesan saya sederhana, lakukan­lah yang terbaik apa yang diamanah­kan oleh orang tehadap kita, dan kedua perbaiki diri dan jadilah orang yang bermanfaat untuk orang lain. (AF)

0 komentar:

Posting Komentar