Pemimpin
redaksi Jurnal Populer Plualita Avicenna Sabir Laluhu yang ditemani kader HMI
Komisariat Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Komfakda) Cabang Ciputat
Tb. Hasan, menyambangi rumah alumni IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan HMI
Cabang Ciputat Tb. Ace Hasan Sadzily di kediamannya Gria Jakarta jalan Kemang
V blok B 7 nomor 3 Pamulang Tangerang Selatan Banten pertengahan Tahun 2012
lalu. Ramah, bersahaja, dan murah senyum kesan itu muncul ketika awal pertama
kali pertemuan kamu dengan Ace sapaan akrabnya. Dengan senyum yang tersungging
Ace menyapa kami, “Sudah lama ya sampainya?, silahkan masuk. Maaf baru sempat
meluangkan waktunya.”
Setelah memasuki rumah kami dipersilahkan
untuk duduk bercengkerama dan bercerita dengan Ace di ruang tamu tentang masa
kecil hingga aktivitasnya kini sebagai Staf Dewan Pertimbangan Presiden
(watimpres) Bidang Pengembangan dan Pembangunan Daerah. Ditemani sang istri
Rina Fitria yang sangat dicintainya, Ace kemudian menuturkan kisah perjalanan
hidupnya.
Kapan Abang dilahirkan? Tttl? Di keluarga
seperti apa Abang
dibesarkan?
Saya itu lahir di Labuan tepatnya sih di
kampung Jaha, sekitar 2 km dari kota kecamatan. Kalau latar belakang keluarga
sih relatif. Kita kental dengan suasana keagamaan karena kebetulan ayah dan ibu
saya dianggap sebagai tokoh agama di kampung. Dan kebetulan kita punya
pesantren kecil-kecilan. Di situ proses interaksi sosialnya memang lebih kental
dengan suasana santri ya. Saya setiap hari selalu digembleng dengan sejumlah
nilai-nilai keagamaan yang kuat dan melekat pada diri saya. Cuma, mungkin saya
kira yang membuat kenapa itu kemudian berpengaruh terhadap paradigma
kehidupan saya adalah karena mungkin ayah saya dan keluarga saya pada umumnya
lahir dari sosok pergerakan juga. Ayah saya itu selain sebagai kiai tapi juga
dulu aktif di NU. Jadi kalau di Banten itu kan ada konfigurasi kekuatan sosial
politaknya itu kan ada NU, Muhammadiyah, dan juga Mathla’ul Anwar.
Prinsip
hidup yang Abang pegang hingga saat ini?
Diantara keluarga kami misalnya dari
anak-anak yang hingga saat ini jika prinsip dia sudah belajar dan mendapatkan
ilmu, ya kerjakanlah dengan keyakinan yang dimiliki. Jadi prinsip-prinsip itu
yang tertanam kuat pada diri kami dan saya merasakan itu ya seperti yang sekarang
ini. Kami selalu diajarkan hidup mandiri, ya misalkan sejak lulus SD, pesantren
dan lulus kuliah saya jarang tinggal dirumah. Jadi dari situlah kami merasa
pendidikan kemandirian ditanamkan.
Apa
cita-cita Abang sebelum kuliah?
Cita-cita
saya masih kecil ya saya meneruskan apa yang telah dirintis oleh ayah saya, ya
sederhana lah, karenakan tipe atau sosok saya kaya ayah saya, ngaji,disukai
masyarakat jadi orator ulung. Jadi hidup itu nggak seperti yang direncanakan
juga.
Kenangan masa kecil hingga sebelum masuk UINJakarta, seperti apa?
Ya
kalo yang paling berkesan buat saya sebenernya banyak, tetapi proses
penggemblengan aktifisme yang dimulai dari SMP sampai dikampus itu. Lalu saya
tidak pernah membayangkan saya bisa jadi seorang aktifis seperti sekarang
karena dulu saya hanya punya cita-cita sederhana saya ingin seperti ayah saya.
Saya sudah mau selesai kuliah tahun ’98 lalu saya ingat, saat saya balik
kekampung mau menyelesaikan skripsi saya dan tiba-tiba teman saya dikampus
telepon minta CV da foto saya, saya ga tau buat apa. Lalu saya sudah
menyelesaikan skripsi saya 3 bab dan balik ke Ciputat, dan saya kaget ketika di
pintu gerbang kampus terpampang banyak sekali foto saya sebagai calon pesiden
mahasiswa. Saya tidak pernah punya keinginan untuk itu, karena saya berpikir
tugas saya selesai sebagai aktifis setelah menurunkan Soeharto. Tetapi ternyata
saya datang ke kampus foto saya sudah dimana-mana diusung sama teman-teman HMI
sebagai calon Presiden mahasiswa yang beranggapan tidak ada lagi orang yang
mampu semagat reformasi dikampus. “okelah saya maju, bismillah” dan pada
saat itu menang mutlak, saya dapat 1800, lawan saya cuma dapat 175 dan 89.
Mengapa
Abang memilih untuk masuk ke UIN Jakarta?
Dulu
sebenarnya saya tidak mau masuk UIN,saya masih ingat tahun ’94 saya keluar SMA,
kalau liburan sekolah dulu itu saya sering ke Jogja, jadi saya ingin ke Jogja.
Saya daftar di UGM, takut ga diterima di UGM saya daftar juga di UII ambil
Hukum. Di UGM ambil Filsafat dan saya daftar juga di UIN Jogja, jadi saya
daftar tiga-tiganya. Setelah pendaftaran saya balik ke Labuan saya tunggu
informasi diterima atau tidak, tiba-tiba ayah saya datang beliau bilang daftar
di UIN Jakarta dulu IAIN. Saya ingat ada senior saya namanya Saiful Mujani
datang jemput dan disuruh ayah saya ikut daftar, awalnya saya bilang Ga’ mau .
malam-malam saya berangkat ke Jakarta dan saya daftar di IAIN Jakarta. Hari
senin tes, dan dua minggu kemudian surat itu semua datang beramaan, di UGM
diterima, di UII diterima semua diterima termasuk IAIN Jakarta. Saya tanya ke
ayah saya, “bagaimana ini?”, “udah di IAIN Jakata saja” kata ayah saya, yaudah
saya ke Jakarta. Jadi dulu saya ga pernah niat masuk IAIN Jakarta.
Apa yang paling berat dalam menjalankan
amanah sebagai Presiden
Mahasiswa?
Tidak
ada sesuatu yang berat kalu kita mau menjalani dengan baik. Hal yang terpenting
menurut saya adalah kemauan keras kita untuk melaksanakan itu sesuai dengan
kapasitas yang kita miliki. Satu hal yang membuat kenapa kita mampu untuk
membangun dan mengelola sesuatu itu menjadi lebih baik itu karena kita ga bisa
berjalan sendiri, ada hal yang memang perlu kita kerjasamakan. Mungkin pada
saat itu saya jadi presiden mahasiswa tidak akan berhasil jika tidak ada
teman-teman saya seperti Burhanudin Muhtadi sebagai menteri intelektual waktu
itu, kemudian Imam Suyuti sebagai menteri kemahasiswaan, Ali Irfan Menteri
Hubungan Antar Lembaga, kemudian Andri Syafrani Menteri Hukum. Dan jadi
orang-orang itu yang membantu saya, saya dan mereka membangun sebuah tim yang
kemudian proses-proses itulah yang menjadi pembelajaran-pmbelajaran untuk
kita.
Gerakan mahasiswa dan intelektualitas di
masa itu seperti apa?
Ya
itu yang saya rasakan. Mungkin suasana zaman waku itu yang memungkinkan
intelektualisme dan aktifisme berjalan beriringan. Saya dulu lebih banyak
aktif di FORMACI, LSADI. Dan di Ciputat dulu menjamur sekali kelompok-kelompok
study, anak PMII bikin PIRAMIDA ada Lespendeo dan macem-macem lah kelompok
study itu.
Apakah ada bayangan atau keinginan Abang
menjadi watimpres?
Gini,
saya itu kan tahun 2009 gagal jadi anggota DPR RI tapi buat saya sih ga ada
masalah dan saya tidak seperti orang lain yang stress, perbedaan suara
saya dengan di atas saya itu sangat tipis sekali, kata teman-teman kesalahan
saya cuma satu karena saya ga mau curang, ya bagi saya ga ada masalah. Buat
saya itu bagian dari pembelajaran politik untuk masyarakat, dan di situ saya
bisa tau proses interaksi dengan masyarakat, bagaimana kondisi sosial ekonomi
masyarakat itu. Dan ini jadi tantangan untuk tetap aktif di dunia politik
karena persoalan-persoalan seperti inilah yang harus diselesaikan oleh
pendekatan politik, soal kemiskinan, soal keterbelakangan dan sebagainya.
Kalau tanpa politik saya punya keyakinan kita tidak bisa menyelesaikan
persoalan bangsa ini.
Pada bidang apa konsentrasi kerjanya?
Saya
menangani pembangunan otonomi daerah, banyak hal yang saya berikan masukan
kepada Presiden, tentang berbagai isu-isu yang terkait tentang pembangunan
otonomi daerah. Misalnya tentang jalannya otonomi daerah sekarang, banyak hal
misalnya alokasi pembangunan daerah yang tidak terarah, tidak ada sinkronisasi
pemerintah pusat dengan daerah, tidak berlangsungnya proses pembangunan yang
diharapkan, oleh karena itu saya memberikan masukan kepada bapak presiden
tentang bagaimana organisasi pemerintahan dan manajemen pembangunan ini harus
dibenahi
Bagaimana
Abang melihat pekerjaan tersebut?
Salah
satu yang paling utama adalah ketika di tengah keruwetan pekerjaan yang luar
biasa, itu adalah ketika saya bisa melihat bagaimana kesulitan yang dialami
oleh rakyat, walaupun saya tidak bisa berbuat apa-apa tapi kemudian dari
situlah kita selalu di asah nurani kita supaya tetap tidak keluar dari hati
nurani rakyat.
Setelah Abang menjadi watimpres dan mengunjungi
daerah-daerah, bagaimana Abang melihat Indonesia?
Saya
melihat indonesia itu tentu dari banyak persepektif, saya selain keliling
Indonesia juga berkesempatan jalan keluar negeri, saya pernah mengunjungi
Jepang, Amerika, negara-negara tetangga. Dan proses saya melihat Indonesia itu
ketika membandingkan dengan negara-negara itu saya selalu menangis, saya
melihat bagaimana misalnya saya jalan ke Papua Barat, di sana ada pulau
terindah di Raja Ampat itu, dan saya pernah jalan juga ke Wakatoli itu juga
indah sekali. Dari situ saya bisa melihat betapa kayanya bangsa Indonesia dan
itu saya kira tidak dimiliki oleh negara lain. Tapi masalahnya adalah kekayaan
bangsa kita ini tidak mampu dikelola dengan baik. Ada yang salah tentang
pengelolaan bangsa ini, nyaris kita ga punya visi sebagai sebuah bangsa, mau
dibawa kemana arah bangsa kita
Abang adalah salah satu pionir komunitas AIC, bagaimana Abang melihat
komunitas ini?
Saya
Masuk HMI tahun ‘94. Dulu ketika di HMI itu ada faksi-faksi, dan saya ini kan
ga punya faksi apa-apa tapi mampu menjadi gerbong untuk teman-teman. Waktu saya
naik jadi Presiden mahasiwa saya tidak didukung oleh HMI, tidak didukung oleh
cabang termasuk kebijakan saya ketika menjabat. Dan akhirnya teman-teman HMI
saya fasilitasi, kita berdiskusi di Aula Insan Cita, dari sinilah kita menjadi
satu komunitas.
Pandangan
Abang tentang KAHMIdan HMIseperti apa?
Seharusnya
KAHMI itu ga usah ikut-ikutan untuk mencampuri, mengintervensi teman-teman
HMI. KAHMI tidak perlu mencampuri urusan-urusan internal HMI, apalagi
mengintervensi untuk kepentingan politik KAHMI. Untuk permasalahan teman-teman
HMI harus menyelesaikan sendiri.
Bagaimana
pendapat Abang tentang gerakan mahasiswa saat ini?
Pertama
bahawa gerakan mahasiswa itu harus ditempatkan dalam sebuah gerakan moral,
gerakan mahasiwa itu bukan gerakan politik. Kemudian gerakan mahasiswa akan
berkembang jika memang situais politiknya memungkinkan gerakan mahasiwa itu untuk
eksis. Di negara demokratis gerakan mahasiswa pasti punya posisi yang sangat
strategis karena peran kritis, peran keseimbangan politik kalo secara formalnya
oleh partai oposisi kalau secara tidak formalnya oleh kelompok civil society
dimana mahasiswa masuk kedalamnya. Harapan saya untuk gerakan mahasiswa
sekarang khusunya teman-teman HMI perkuat kapasitas keilmuan yang mereka
miliki,
Statement Abang
terakhir dalam wawancara ini untuk
mahasiswa dan kader HMI?
Pesan saya sederhana, lakukanlah
yang terbaik apa yang diamanahkan oleh orang tehadap kita, dan kedua perbaiki
diri dan jadilah orang yang bermanfaat untuk orang lain. (AF)
0 komentar:
Posting Komentar