“Bukan lagi pasar, terminal,
bus atau angkutan kota tempat anak jalanan mengais recehan. Kini
kampus pun jari sasarannya”.
Ciputat – Anak
jalanan (anjal) di Indonesia, kini tak terhitung lagi jumlahnya. Mereka tak
hanya ada di jalanan ibu kota atau kota-kota besar, tetapi hampir di seluruh
pelosok negeri ini mereka ada. Berbagai faktor dan alasan yang menjadikan mereka
tumpah ruah ke jalanan. Tak hanya faktor kemiskinan tetapi faktor keluarga juga
menjadi penyebabnya.
Apong
Herlina, wakil ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan,
kategori anak jalanan beraneka ragam. Sebenarnya kriteria anak jalanan
sendiri di Indonesia belum ada definisi khusus. Tetapi biasanya dikatakan anak
jalanan adalah anak yang mencari nafkah di jalanan. “Mereka punya keluarga
tetapi didorong orang tuanya untuk hidup dan mencari nafkah di jalanan. Anak
jalanan murni di Indonesia bisa dihitung dengan jari”. tutur
Mengamen menjadi ciri khas
aktifitas anak jalanan. Tempat-tempat umum menjadi sasaran tempat mereka mengais
recehan. Mulai dari pasar, perempatan lampu merah, terminal, halte sampai bus
atau angkutan kota. Berbagai cara mereka lakukan agar menarik perhatian
orang-orang di sekitarnya untuk sekedar mengasih recehan. Tepuk tangan sembari
bernyanyi, memaikan alat musik sederhana atau sekedar menyanyi dengan suara
ala kadarnyalah yang biasanya mereka lakukan.
Di Ciputat, anak jalanan tak
hanya bertebaran di jalanan, pasar, bus atau angkutan kota. Tetapi anjal di
Ciputat sudah merambah ke dalam kampus. Kampus UIN Syarif Hidayatullah salah
satunya. Sekitar 10 orang anjal yang mengais recehan di ranah kampus. Sering
terlihat mereka mengamen pada jam-jam di mana mereka harus sekolah.
Diantara anjal yang sering
mengais recehan di dalam kampus adalah anak delapan tahun berinsial R dan anak
berusia sepuluh tahun berusia U. Mereka bernasib sama tetapi memiliki kisah
yang berbeda. R harus mengamen dari pukul 9 pagi sampai pukul 7 malam. Orang
tuanya menargetkan 80 ribu perhari. Jika ia pulang tanpa membawa sejumlah uang
yang ditargetkan, maka ia akan mendapatkan hukuman fisik dari oang tuanya.
“uang ngamen aku buat uang belanja mamah. dari mamah ditargetin 80 ribu.
Kadang-kadang dapet kadang-kadang kagak. Kalau gak dapet digebukin. Aku takut
pulang” ujarnya sambil mengusap air matanya.
R harus merelakan waktu
sekolahnya. Ia hanya bisa menelan ludah ketika melihat teman sebayanya memakai
seragam merah putih. Ia dikelurakan dari sekolahnya karena ketahuan dari pihak
sekolah mengais recehan. “Sekolah aku tau jadi ama kepala sekolah aku
dikeluarin “
Meskipun U senasib dengan R
tetapi ia masih sedikit beruntung dari pada R. Ia masih berkesempatan sekolah.
Biasanya ia memulai ngamen setelah pulang sekolah. Tetapi U juga mendapatkan
target yang harus didapat perharinya. 100 ribu target minimal dari orang
tuanya. Hukuman fisik juga kerap menimpa U ketika ia pulang tanpa membawa
sejumlah uang yang ditargetkan orang tuanya.
“kalo
gak ngamen ya digebukin ama emak, kalau pulang setoran kurang ya gak boleh
pulang”, tuturnya.
Ironisnya
uang yang mereka dapatkan kebanyakan bukan buat keperluan perut mereka. Tak
sedikit dari anjal yang diperalat orang dewasa disekitarnya termasuk bapak
ibunya untuk mengais recehan. “kalau saya yang ngamen ya gak ada yang kasihan
neng, saya gak cacat, saya dilihat segar bugar, tapi kalau anak saya yang
ngamen kan banyak yang kasihan dan banyak yang ngasih”, tutur ibu anjal bernama
R.
Pihak
kampus UIN Syarif Hidayatullah, belum melakukan tindakan lebih lanjut atas hal
ini. Mereka menggap hal ini masih biasa-biasa saja. Tak ada yang tergelitik
hatinya. Tak ada yang resah akan keberadaan anjal dalam kampus. Hanya diusir
dan dilarang ngecrek dalam kampus.
“Saya
sudah berkali-kali mengusir sendiri dan memerintahkan kepada kawan-kawan
keamanan kampus untuk mengusir anak-anak itu, tapi ya mereka pinter sekali.
Mereka selalu kucing-kucingan dengan satpam”, ungkap Satori kepala keamanan
kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Siti
Napsiyah, pakar sosial sekaligus dosen UIN Syarif Hidayatullah mengatakan,
mereka yang mestinya kampus itu resested area, karena wilyah kampus. “Resested
area itu wilayah yang mestinya ada pelarangan khusus, seperti pengamen dan
lainnya. Mereka datang dimungkinkan ada yang nganter, gak mugkin anak-anak itu
serta merta tiba di kampus”, ungkapnya.
“Harusnya
kampus mempunyai kebijakan khusus, tidak hanya selesai pada pengusiran oleh
satpam. Tapi juga harus turut menyelesaikan problem sosial yang ada di dalam
kampus. Misalnya mengalokasikan KKN mahasiswa dalam penanganan hal ini”,
tambahnya.
Mahasiswa
pun cenderung cuek dengan kehadiran anak jalanan dalam kampus. Kepedulian
mereka hanya sebatas ngasih uang recehan. Diki Direktur Sanggar Kreatif Anak
Bangsa (SKAB) yang juga mahasiswa UIN Jakarta mengatakan, keberadaan anak
kecil yang mengamen di kampus itu sebetulnya teguran bagi teman-teman mahasiswa
sebagai kaum intelektual. Karena anak-anak itu mengamen di waktu jam masuk
sekolah. “Kenapa teman-teman tidak bertanya, kenapa anak-anak itu tidak
sekolah? Lalu apa yang harus mahasiswa lakukan?”tegasnya
Penyelesaian
problem sosial anak jalanan sudah dilakukan banyak pihak. Mulai dari jajaran
pemerintahan, masyarakat, institusi atau pun organisasi mahasiswa. Tetapi
masalah ini tak kunjung selesai. Yang ada makin banyak anak yang tumpah ruah ke
jalanan. Entah itu karena alasan mencari uang atau kabur dari rumah karena
ketidakharmonisan dalam keluarga.
Menurut
Apong Herlina, anak jalanan sebenarnya dampak dari proses panjang yang ada di
hulu. Diantara problem di hulu yang paling ketara adalah kemiskinan.
Berikutnya adalah masalah asuhan dalam rumah tangga. Jadi penyelesaian anak
jalanan tak hanya bisa pada hilirnya atau anaknya saja tetapi juga harus menyentuh
hulunya atau faktornya.
Faktor
pengasuhan orang tua terhadap anaknya menjadi hal yang paling urgen.
Pendidikan tentang perlindungan anak harus dimiliki oleh setiap orang tua
sebagai solusinya. Anak tidak akan dieksploitasi jika orang tuanya faham
tentang perlindungan. “Semiskin apapun orang taunya, anak tidak dibiarkan
berlalulang dan hidup di jalanan”, tutur Apong Herlina.
Selain itu, masalah ekonomi yang
biasanya menjadikan orang tua tega mengekploitasi anaknya juga harus dicarikan
solusi. Pemberdayakan keluarga agar tidak menjadi pengangguran dan memiliki income
sehingga tidak lagi mengeksploitasi anaknya. “Penanganan terhadap anak
yang sudah menjadi anak jalanan adalah dengan acara rehabilitasi dan dipenuhi
kembali haknya untuk mendapatkan pendidikan.”tambah Apong (Nuna)
0 komentar:
Posting Komentar