Sabtu, 08 Desember 2012

Fenomena “Anjal”, Ladang Mengais Receh sang “Orang Tua”

“Bukan lagi pasar, termi­nal, bus atau angkutan kota tempat anak jalanan men­gais recehan. Kini kampus pun jari sasarannya”.
Ciputat – Anak jalanan (anjal) di Indone­sia, kini tak terhitung lagi jumlahnya. Mer­eka tak hanya ada di jalanan ibu kota atau kota-kota besar, tetapi hampir di seluruh pelosok negeri ini mereka ada. Berbagai faktor dan alasan yang menjadikan mer­eka tumpah ruah ke jalanan. Tak hanya faktor kemiskinan tetapi faktor keluarga juga menjadi penyebabnya.

Apong Herlina, wakil ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan, kategori anak jalanan berane­ka ragam. Sebenarnya kriteria anak jalan­an sendiri di Indonesia belum ada definisi khusus. Tetapi biasanya dikatakan anak jalanan adalah anak yang mencari nafkah di jalanan. “Mereka punya keluarga tetapi didorong orang tuanya untuk hidup dan mencari nafkah di jalanan. Anak jalanan murni di Indonesia bisa dihitung dengan jari”. tutur
Mengamen menjadi ciri khas akti­fitas anak jalanan. Tempat-tempat umum menjadi sasaran tempat mereka men­gais recehan. Mulai dari pasar, perempa­tan lampu merah, terminal, halte sampai bus atau angkutan kota. Berbagai cara mereka lakukan agar menarik perhatian orang-orang di sekitarnya untuk sekedar mengasih recehan. Tepuk tangan sembari bernyanyi, memaikan alat musik seder­hana atau sekedar menyanyi dengan suara ala kadarnyalah yang biasanya mereka lakukan.

Di Ciputat, anak jalanan tak hanya bertebaran di jalanan, pasar, bus atau ang­kutan kota. Tetapi anjal di Ciputat sudah merambah ke dalam kampus. Kampus UIN Syarif Hidayatullah salah satunya. Sekitar 10 orang anjal yang mengais re­cehan di ranah kampus. Sering terlihat mereka mengamen pada jam-jam di mana mereka harus sekolah.

Diantara anjal yang sering mengais recehan di dalam kampus adalah anak de­lapan tahun berinsial R dan anak berusia sepuluh tahun berusia U. Mereka bernasib sama tetapi memiliki kisah yang berbeda. R harus mengamen dari pukul 9 pagi sam­pai pukul 7 malam. Orang tuanya menar­getkan 80 ribu perhari. Jika ia pulang tanpa membawa sejumlah uang yang ditarget­kan, maka ia akan mendapatkan hukuman fisik dari oang tuanya. “uang ngamen aku buat uang belanja mamah. dari mamah ditargetin 80 ribu. Kadang-kadang dapet kadang-kadang kagak. Kalau gak dapet digebukin. Aku takut pulang” ujarnya sambil mengusap air matanya.

R harus merelakan waktu sekolahnya. Ia hanya bisa menelan ludah ketika melihat teman sebayanya memakai seragam mer­ah putih. Ia dikelurakan dari sekolahnya karena ketahuan dari pihak sekolah men­gais recehan. “Sekolah aku tau jadi ama kepala sekolah aku dikeluarin “
Meskipun U senasib dengan R tetapi ia masih sedikit beruntung dari pada R. Ia masih berkesempatan sekolah. Biasanya ia memulai ngamen setelah pulang seko­lah. Tetapi U juga mendapatkan target yang harus didapat perharinya. 100 ribu target minimal dari orang tuanya. Huku­man fisik juga kerap menimpa U ketika ia pulang tanpa membawa sejumlah uang yang ditargetkan orang tuanya.

“kalo gak ngamen ya digebukin ama emak, kalau pulang setoran kurang ya gak boleh pulang”, tuturnya.

Ironisnya uang yang mereka dapatkan kebanyakan bukan buat keperluan perut mereka. Tak sedikit dari anjal yang diper­alat orang dewasa disekitarnya termasuk bapak ibunya untuk mengais recehan. “kalau saya yang ngamen ya gak ada yang kasihan neng, saya gak cacat, saya dilihat segar bugar, tapi kalau anak saya yang ngamen kan banyak yang kasihan dan banyak yang ngasih”, tutur ibu anjal bernama R.

Pihak kampus UIN Syarif Hidayatul­lah, belum melakukan tindakan lebih lanjut atas hal ini. Mereka menggap hal ini masih biasa-biasa saja. Tak ada yang tergelitik hatinya. Tak ada yang resah akan keberadaan anjal dalam kampus. Hanya diusir dan dilarang ngecrek dalam kam­pus.
“Saya sudah berkali-kali mengusir send­iri dan memerintahkan kepada kawan-kawan keamanan kampus untuk mengusir anak-anak itu, tapi ya mereka pinter sekali. Mereka selalu kucing-kucingan dengan satpam”, ungkap Satori kepala keamanan kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Siti Napsiyah, pakar sosial sekaligus dos­en UIN Syarif Hidayatullah mengatakan, mereka yang mestinya kampus itu re­sested area, karena wilyah kampus. “Re­sested area itu wilayah yang mestinya ada pelarangan khusus, seperti pengamen dan lainnya. Mereka datang dimungkinkan ada yang nganter, gak mugkin anak-anak itu serta merta tiba di kampus”, ungkap­nya.
“Harusnya kampus mempunyai kebijakan khusus, tidak hanya selesai pada pengu­siran oleh satpam. Tapi juga harus turut menyelesaikan problem sosial yang ada di dalam kampus. Misalnya mengalokasikan KKN mahasiswa dalam penanganan hal ini”, tambahnya.

Mahasiswa pun cenderung cuek dengan kehadiran anak jalanan dalam kampus. Kepedulian mereka hanya sebatas ngasih uang recehan. Diki Direktur Sanggar Kreatif Anak Bangsa (SKAB) yang juga mahasiswa UIN Jakarta mengatakan, ke­beradaan anak kecil yang mengamen di kampus itu sebetulnya teguran bagi teman-teman mahasiswa sebagai kaum intelek­tual. Karena anak-anak itu mengamen di waktu jam masuk sekolah. “Kenapa teman-teman tidak bertanya, kenapa anak-anak itu tidak sekolah? Lalu apa yang har­us mahasiswa lakukan?”tegasnya

Penyelesaian problem sosial anak jalanan sudah dilakukan banyak pihak. Mulai dari jajaran pemerintahan, masyarakat, insti­tusi atau pun organisasi mahasiswa. Tetapi masalah ini tak kunjung selesai. Yang ada makin banyak anak yang tumpah ruah ke jalanan. Entah itu karena alasan men­cari uang atau kabur dari rumah karena ketidakharmonisan dalam keluarga.
Menurut Apong Herlina, anak jalanan sebenarnya dampak dari proses panjang yang ada di hulu. Diantara problem di hulu yang paling ketara adalah kemiski­nan. Berikutnya adalah masalah asuhan dalam rumah tangga. Jadi penyelesaian anak jalanan tak hanya bisa pada hilirnya atau anaknya saja tetapi juga harus meny­entuh hulunya atau faktornya.

Faktor pengasuhan orang tua terhadap anaknya menjadi hal yang paling urgen. Pendidikan tentang perlindungan anak harus dimiliki oleh setiap orang tua sebagai solusinya. Anak tidak akan dieksploitasi jika orang tuanya faham tentang perlind­ungan. “Semiskin apapun orang taunya, anak tidak dibiarkan berlalulang dan hidup di jalanan”, tutur Apong Herlina.

Selain itu, masalah ekonomi yang biasanya menjadikan orang tua tega mengekploitasi anaknya juga harus dicarikan solusi. Pem­berdayakan keluarga agar tidak menjadi pengangguran dan memiliki income seh­ingga tidak lagi mengeksploitasi anaknya. “Penanganan terhadap anak yang sudah menjadi anak jalanan adalah dengan acara rehabilitasi dan dipenuhi kembali haknya untuk mendapatkan pendidikan.”tambah Apong (Nuna)

0 komentar:

Posting Komentar