Sabtu, 08 Desember 2012
Fenomena “Anjal”, Ladang Mengais Receh sang “Orang Tua”
“Bukan lagi pasar, terminal,
bus atau angkutan kota tempat anak jalanan mengais recehan. Kini
kampus pun jari sasarannya”.
Ciputat – Anak
jalanan (anjal) di Indonesia, kini tak terhitung lagi jumlahnya. Mereka tak
hanya ada di jalanan ibu kota atau kota-kota besar, tetapi hampir di seluruh
pelosok negeri ini mereka ada. Berbagai faktor dan alasan yang menjadikan mereka
tumpah ruah ke jalanan. Tak hanya faktor kemiskinan tetapi faktor keluarga juga
menjadi penyebabnya.
Apong
Herlina, wakil ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan,
kategori anak jalanan beraneka ragam. Sebenarnya kriteria anak jalanan
sendiri di Indonesia belum ada definisi khusus. Tetapi biasanya dikatakan anak
jalanan adalah anak yang mencari nafkah di jalanan. “Mereka punya keluarga
tetapi didorong orang tuanya untuk hidup dan mencari nafkah di jalanan. Anak
jalanan murni di Indonesia bisa dihitung dengan jari”. tutur
Mengamen menjadi ciri khas
aktifitas anak jalanan. Tempat-tempat umum menjadi sasaran tempat mereka mengais
recehan. Mulai dari pasar, perempatan lampu merah, terminal, halte sampai bus
atau angkutan kota. Berbagai cara mereka lakukan agar menarik perhatian
orang-orang di sekitarnya untuk sekedar mengasih recehan. Tepuk tangan sembari
bernyanyi, memaikan alat musik sederhana atau sekedar menyanyi dengan suara
ala kadarnyalah yang biasanya mereka lakukan.
Di Ciputat, anak jalanan tak
hanya bertebaran di jalanan, pasar, bus atau angkutan kota. Tetapi anjal di
Ciputat sudah merambah ke dalam kampus. Kampus UIN Syarif Hidayatullah salah
satunya. Sekitar 10 orang anjal yang mengais recehan di ranah kampus. Sering
terlihat mereka mengamen pada jam-jam di mana mereka harus sekolah.
Diantara anjal yang sering
mengais recehan di dalam kampus adalah anak delapan tahun berinsial R dan anak
berusia sepuluh tahun berusia U. Mereka bernasib sama tetapi memiliki kisah
yang berbeda. R harus mengamen dari pukul 9 pagi sampai pukul 7 malam. Orang
tuanya menargetkan 80 ribu perhari. Jika ia pulang tanpa membawa sejumlah uang
yang ditargetkan, maka ia akan mendapatkan hukuman fisik dari oang tuanya.
“uang ngamen aku buat uang belanja mamah. dari mamah ditargetin 80 ribu.
Kadang-kadang dapet kadang-kadang kagak. Kalau gak dapet digebukin. Aku takut
pulang” ujarnya sambil mengusap air matanya.
R harus merelakan waktu
sekolahnya. Ia hanya bisa menelan ludah ketika melihat teman sebayanya memakai
seragam merah putih. Ia dikelurakan dari sekolahnya karena ketahuan dari pihak
sekolah mengais recehan. “Sekolah aku tau jadi ama kepala sekolah aku
dikeluarin “
Meskipun U senasib dengan R
tetapi ia masih sedikit beruntung dari pada R. Ia masih berkesempatan sekolah.
Biasanya ia memulai ngamen setelah pulang sekolah. Tetapi U juga mendapatkan
target yang harus didapat perharinya. 100 ribu target minimal dari orang
tuanya. Hukuman fisik juga kerap menimpa U ketika ia pulang tanpa membawa
sejumlah uang yang ditargetkan orang tuanya.
“kalo
gak ngamen ya digebukin ama emak, kalau pulang setoran kurang ya gak boleh
pulang”, tuturnya.
Ironisnya
uang yang mereka dapatkan kebanyakan bukan buat keperluan perut mereka. Tak
sedikit dari anjal yang diperalat orang dewasa disekitarnya termasuk bapak
ibunya untuk mengais recehan. “kalau saya yang ngamen ya gak ada yang kasihan
neng, saya gak cacat, saya dilihat segar bugar, tapi kalau anak saya yang
ngamen kan banyak yang kasihan dan banyak yang ngasih”, tutur ibu anjal bernama
R.
Pihak
kampus UIN Syarif Hidayatullah, belum melakukan tindakan lebih lanjut atas hal
ini. Mereka menggap hal ini masih biasa-biasa saja. Tak ada yang tergelitik
hatinya. Tak ada yang resah akan keberadaan anjal dalam kampus. Hanya diusir
dan dilarang ngecrek dalam kampus.
“Saya
sudah berkali-kali mengusir sendiri dan memerintahkan kepada kawan-kawan
keamanan kampus untuk mengusir anak-anak itu, tapi ya mereka pinter sekali.
Mereka selalu kucing-kucingan dengan satpam”, ungkap Satori kepala keamanan
kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Siti
Napsiyah, pakar sosial sekaligus dosen UIN Syarif Hidayatullah mengatakan,
mereka yang mestinya kampus itu resested area, karena wilyah kampus. “Resested
area itu wilayah yang mestinya ada pelarangan khusus, seperti pengamen dan
lainnya. Mereka datang dimungkinkan ada yang nganter, gak mugkin anak-anak itu
serta merta tiba di kampus”, ungkapnya.
“Harusnya
kampus mempunyai kebijakan khusus, tidak hanya selesai pada pengusiran oleh
satpam. Tapi juga harus turut menyelesaikan problem sosial yang ada di dalam
kampus. Misalnya mengalokasikan KKN mahasiswa dalam penanganan hal ini”,
tambahnya.
Mahasiswa
pun cenderung cuek dengan kehadiran anak jalanan dalam kampus. Kepedulian
mereka hanya sebatas ngasih uang recehan. Diki Direktur Sanggar Kreatif Anak
Bangsa (SKAB) yang juga mahasiswa UIN Jakarta mengatakan, keberadaan anak
kecil yang mengamen di kampus itu sebetulnya teguran bagi teman-teman mahasiswa
sebagai kaum intelektual. Karena anak-anak itu mengamen di waktu jam masuk
sekolah. “Kenapa teman-teman tidak bertanya, kenapa anak-anak itu tidak
sekolah? Lalu apa yang harus mahasiswa lakukan?”tegasnya
Penyelesaian
problem sosial anak jalanan sudah dilakukan banyak pihak. Mulai dari jajaran
pemerintahan, masyarakat, institusi atau pun organisasi mahasiswa. Tetapi
masalah ini tak kunjung selesai. Yang ada makin banyak anak yang tumpah ruah ke
jalanan. Entah itu karena alasan mencari uang atau kabur dari rumah karena
ketidakharmonisan dalam keluarga.
Menurut
Apong Herlina, anak jalanan sebenarnya dampak dari proses panjang yang ada di
hulu. Diantara problem di hulu yang paling ketara adalah kemiskinan.
Berikutnya adalah masalah asuhan dalam rumah tangga. Jadi penyelesaian anak
jalanan tak hanya bisa pada hilirnya atau anaknya saja tetapi juga harus menyentuh
hulunya atau faktornya.
Faktor
pengasuhan orang tua terhadap anaknya menjadi hal yang paling urgen.
Pendidikan tentang perlindungan anak harus dimiliki oleh setiap orang tua
sebagai solusinya. Anak tidak akan dieksploitasi jika orang tuanya faham
tentang perlindungan. “Semiskin apapun orang taunya, anak tidak dibiarkan
berlalulang dan hidup di jalanan”, tutur Apong Herlina.
Selain itu, masalah ekonomi yang
biasanya menjadikan orang tua tega mengekploitasi anaknya juga harus dicarikan
solusi. Pemberdayakan keluarga agar tidak menjadi pengangguran dan memiliki income
sehingga tidak lagi mengeksploitasi anaknya. “Penanganan terhadap anak
yang sudah menjadi anak jalanan adalah dengan acara rehabilitasi dan dipenuhi
kembali haknya untuk mendapatkan pendidikan.”tambah Apong (Nuna)
Hidup Itu Tidak Seperti yang Kita Rencanakan
Pemimpin
redaksi Jurnal Populer Plualita Avicenna Sabir Laluhu yang ditemani kader HMI
Komisariat Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Komfakda) Cabang Ciputat
Tb. Hasan, menyambangi rumah alumni IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan HMI
Cabang Ciputat Tb. Ace Hasan Sadzily di kediamannya Gria Jakarta jalan Kemang
V blok B 7 nomor 3 Pamulang Tangerang Selatan Banten pertengahan Tahun 2012
lalu. Ramah, bersahaja, dan murah senyum kesan itu muncul ketika awal pertama
kali pertemuan kamu dengan Ace sapaan akrabnya. Dengan senyum yang tersungging
Ace menyapa kami, “Sudah lama ya sampainya?, silahkan masuk. Maaf baru sempat
meluangkan waktunya.”
Setelah memasuki rumah kami dipersilahkan
untuk duduk bercengkerama dan bercerita dengan Ace di ruang tamu tentang masa
kecil hingga aktivitasnya kini sebagai Staf Dewan Pertimbangan Presiden
(watimpres) Bidang Pengembangan dan Pembangunan Daerah. Ditemani sang istri
Rina Fitria yang sangat dicintainya, Ace kemudian menuturkan kisah perjalanan
hidupnya.
Kapan Abang dilahirkan? Tttl? Di keluarga
seperti apa Abang
dibesarkan?
Saya itu lahir di Labuan tepatnya sih di
kampung Jaha, sekitar 2 km dari kota kecamatan. Kalau latar belakang keluarga
sih relatif. Kita kental dengan suasana keagamaan karena kebetulan ayah dan ibu
saya dianggap sebagai tokoh agama di kampung. Dan kebetulan kita punya
pesantren kecil-kecilan. Di situ proses interaksi sosialnya memang lebih kental
dengan suasana santri ya. Saya setiap hari selalu digembleng dengan sejumlah
nilai-nilai keagamaan yang kuat dan melekat pada diri saya. Cuma, mungkin saya
kira yang membuat kenapa itu kemudian berpengaruh terhadap paradigma
kehidupan saya adalah karena mungkin ayah saya dan keluarga saya pada umumnya
lahir dari sosok pergerakan juga. Ayah saya itu selain sebagai kiai tapi juga
dulu aktif di NU. Jadi kalau di Banten itu kan ada konfigurasi kekuatan sosial
politaknya itu kan ada NU, Muhammadiyah, dan juga Mathla’ul Anwar.
Prinsip
hidup yang Abang pegang hingga saat ini?
Diantara keluarga kami misalnya dari
anak-anak yang hingga saat ini jika prinsip dia sudah belajar dan mendapatkan
ilmu, ya kerjakanlah dengan keyakinan yang dimiliki. Jadi prinsip-prinsip itu
yang tertanam kuat pada diri kami dan saya merasakan itu ya seperti yang sekarang
ini. Kami selalu diajarkan hidup mandiri, ya misalkan sejak lulus SD, pesantren
dan lulus kuliah saya jarang tinggal dirumah. Jadi dari situlah kami merasa
pendidikan kemandirian ditanamkan.
Apa
cita-cita Abang sebelum kuliah?
Cita-cita
saya masih kecil ya saya meneruskan apa yang telah dirintis oleh ayah saya, ya
sederhana lah, karenakan tipe atau sosok saya kaya ayah saya, ngaji,disukai
masyarakat jadi orator ulung. Jadi hidup itu nggak seperti yang direncanakan
juga.
Kenangan masa kecil hingga sebelum masuk UINJakarta, seperti apa?
Ya
kalo yang paling berkesan buat saya sebenernya banyak, tetapi proses
penggemblengan aktifisme yang dimulai dari SMP sampai dikampus itu. Lalu saya
tidak pernah membayangkan saya bisa jadi seorang aktifis seperti sekarang
karena dulu saya hanya punya cita-cita sederhana saya ingin seperti ayah saya.
Saya sudah mau selesai kuliah tahun ’98 lalu saya ingat, saat saya balik
kekampung mau menyelesaikan skripsi saya dan tiba-tiba teman saya dikampus
telepon minta CV da foto saya, saya ga tau buat apa. Lalu saya sudah
menyelesaikan skripsi saya 3 bab dan balik ke Ciputat, dan saya kaget ketika di
pintu gerbang kampus terpampang banyak sekali foto saya sebagai calon pesiden
mahasiswa. Saya tidak pernah punya keinginan untuk itu, karena saya berpikir
tugas saya selesai sebagai aktifis setelah menurunkan Soeharto. Tetapi ternyata
saya datang ke kampus foto saya sudah dimana-mana diusung sama teman-teman HMI
sebagai calon Presiden mahasiswa yang beranggapan tidak ada lagi orang yang
mampu semagat reformasi dikampus. “okelah saya maju, bismillah” dan pada
saat itu menang mutlak, saya dapat 1800, lawan saya cuma dapat 175 dan 89.
Mengapa
Abang memilih untuk masuk ke UIN Jakarta?
Dulu
sebenarnya saya tidak mau masuk UIN,saya masih ingat tahun ’94 saya keluar SMA,
kalau liburan sekolah dulu itu saya sering ke Jogja, jadi saya ingin ke Jogja.
Saya daftar di UGM, takut ga diterima di UGM saya daftar juga di UII ambil
Hukum. Di UGM ambil Filsafat dan saya daftar juga di UIN Jogja, jadi saya
daftar tiga-tiganya. Setelah pendaftaran saya balik ke Labuan saya tunggu
informasi diterima atau tidak, tiba-tiba ayah saya datang beliau bilang daftar
di UIN Jakarta dulu IAIN. Saya ingat ada senior saya namanya Saiful Mujani
datang jemput dan disuruh ayah saya ikut daftar, awalnya saya bilang Ga’ mau .
malam-malam saya berangkat ke Jakarta dan saya daftar di IAIN Jakarta. Hari
senin tes, dan dua minggu kemudian surat itu semua datang beramaan, di UGM
diterima, di UII diterima semua diterima termasuk IAIN Jakarta. Saya tanya ke
ayah saya, “bagaimana ini?”, “udah di IAIN Jakata saja” kata ayah saya, yaudah
saya ke Jakarta. Jadi dulu saya ga pernah niat masuk IAIN Jakarta.
Apa yang paling berat dalam menjalankan
amanah sebagai Presiden
Mahasiswa?
Tidak
ada sesuatu yang berat kalu kita mau menjalani dengan baik. Hal yang terpenting
menurut saya adalah kemauan keras kita untuk melaksanakan itu sesuai dengan
kapasitas yang kita miliki. Satu hal yang membuat kenapa kita mampu untuk
membangun dan mengelola sesuatu itu menjadi lebih baik itu karena kita ga bisa
berjalan sendiri, ada hal yang memang perlu kita kerjasamakan. Mungkin pada
saat itu saya jadi presiden mahasiswa tidak akan berhasil jika tidak ada
teman-teman saya seperti Burhanudin Muhtadi sebagai menteri intelektual waktu
itu, kemudian Imam Suyuti sebagai menteri kemahasiswaan, Ali Irfan Menteri
Hubungan Antar Lembaga, kemudian Andri Syafrani Menteri Hukum. Dan jadi
orang-orang itu yang membantu saya, saya dan mereka membangun sebuah tim yang
kemudian proses-proses itulah yang menjadi pembelajaran-pmbelajaran untuk
kita.
Gerakan mahasiswa dan intelektualitas di
masa itu seperti apa?
Ya
itu yang saya rasakan. Mungkin suasana zaman waku itu yang memungkinkan
intelektualisme dan aktifisme berjalan beriringan. Saya dulu lebih banyak
aktif di FORMACI, LSADI. Dan di Ciputat dulu menjamur sekali kelompok-kelompok
study, anak PMII bikin PIRAMIDA ada Lespendeo dan macem-macem lah kelompok
study itu.
Apakah ada bayangan atau keinginan Abang
menjadi watimpres?
Gini,
saya itu kan tahun 2009 gagal jadi anggota DPR RI tapi buat saya sih ga ada
masalah dan saya tidak seperti orang lain yang stress, perbedaan suara
saya dengan di atas saya itu sangat tipis sekali, kata teman-teman kesalahan
saya cuma satu karena saya ga mau curang, ya bagi saya ga ada masalah. Buat
saya itu bagian dari pembelajaran politik untuk masyarakat, dan di situ saya
bisa tau proses interaksi dengan masyarakat, bagaimana kondisi sosial ekonomi
masyarakat itu. Dan ini jadi tantangan untuk tetap aktif di dunia politik
karena persoalan-persoalan seperti inilah yang harus diselesaikan oleh
pendekatan politik, soal kemiskinan, soal keterbelakangan dan sebagainya.
Kalau tanpa politik saya punya keyakinan kita tidak bisa menyelesaikan
persoalan bangsa ini.
Pada bidang apa konsentrasi kerjanya?
Saya
menangani pembangunan otonomi daerah, banyak hal yang saya berikan masukan
kepada Presiden, tentang berbagai isu-isu yang terkait tentang pembangunan
otonomi daerah. Misalnya tentang jalannya otonomi daerah sekarang, banyak hal
misalnya alokasi pembangunan daerah yang tidak terarah, tidak ada sinkronisasi
pemerintah pusat dengan daerah, tidak berlangsungnya proses pembangunan yang
diharapkan, oleh karena itu saya memberikan masukan kepada bapak presiden
tentang bagaimana organisasi pemerintahan dan manajemen pembangunan ini harus
dibenahi
Bagaimana
Abang melihat pekerjaan tersebut?
Salah
satu yang paling utama adalah ketika di tengah keruwetan pekerjaan yang luar
biasa, itu adalah ketika saya bisa melihat bagaimana kesulitan yang dialami
oleh rakyat, walaupun saya tidak bisa berbuat apa-apa tapi kemudian dari
situlah kita selalu di asah nurani kita supaya tetap tidak keluar dari hati
nurani rakyat.
Setelah Abang menjadi watimpres dan mengunjungi
daerah-daerah, bagaimana Abang melihat Indonesia?
Saya
melihat indonesia itu tentu dari banyak persepektif, saya selain keliling
Indonesia juga berkesempatan jalan keluar negeri, saya pernah mengunjungi
Jepang, Amerika, negara-negara tetangga. Dan proses saya melihat Indonesia itu
ketika membandingkan dengan negara-negara itu saya selalu menangis, saya
melihat bagaimana misalnya saya jalan ke Papua Barat, di sana ada pulau
terindah di Raja Ampat itu, dan saya pernah jalan juga ke Wakatoli itu juga
indah sekali. Dari situ saya bisa melihat betapa kayanya bangsa Indonesia dan
itu saya kira tidak dimiliki oleh negara lain. Tapi masalahnya adalah kekayaan
bangsa kita ini tidak mampu dikelola dengan baik. Ada yang salah tentang
pengelolaan bangsa ini, nyaris kita ga punya visi sebagai sebuah bangsa, mau
dibawa kemana arah bangsa kita
Abang adalah salah satu pionir komunitas AIC, bagaimana Abang melihat
komunitas ini?
Saya
Masuk HMI tahun ‘94. Dulu ketika di HMI itu ada faksi-faksi, dan saya ini kan
ga punya faksi apa-apa tapi mampu menjadi gerbong untuk teman-teman. Waktu saya
naik jadi Presiden mahasiwa saya tidak didukung oleh HMI, tidak didukung oleh
cabang termasuk kebijakan saya ketika menjabat. Dan akhirnya teman-teman HMI
saya fasilitasi, kita berdiskusi di Aula Insan Cita, dari sinilah kita menjadi
satu komunitas.
Pandangan
Abang tentang KAHMIdan HMIseperti apa?
Seharusnya
KAHMI itu ga usah ikut-ikutan untuk mencampuri, mengintervensi teman-teman
HMI. KAHMI tidak perlu mencampuri urusan-urusan internal HMI, apalagi
mengintervensi untuk kepentingan politik KAHMI. Untuk permasalahan teman-teman
HMI harus menyelesaikan sendiri.
Bagaimana
pendapat Abang tentang gerakan mahasiswa saat ini?
Pertama
bahawa gerakan mahasiswa itu harus ditempatkan dalam sebuah gerakan moral,
gerakan mahasiwa itu bukan gerakan politik. Kemudian gerakan mahasiswa akan
berkembang jika memang situais politiknya memungkinkan gerakan mahasiwa itu untuk
eksis. Di negara demokratis gerakan mahasiswa pasti punya posisi yang sangat
strategis karena peran kritis, peran keseimbangan politik kalo secara formalnya
oleh partai oposisi kalau secara tidak formalnya oleh kelompok civil society
dimana mahasiswa masuk kedalamnya. Harapan saya untuk gerakan mahasiswa
sekarang khusunya teman-teman HMI perkuat kapasitas keilmuan yang mereka
miliki,
Statement Abang
terakhir dalam wawancara ini untuk
mahasiswa dan kader HMI?
Pesan saya sederhana, lakukanlah
yang terbaik apa yang diamanahkan oleh orang tehadap kita, dan kedua perbaiki
diri dan jadilah orang yang bermanfaat untuk orang lain. (AF)
“Kami gak Jual Miras Kok”
Langkah kaki sejenak terhenti
ketika ia memandang sebuah
mini marketyang baru saja dibuka
beberapa bulan lalu. Mini marketmilik asing
namun tidak asing lagi di Indonesia. Namun
yang menarik adalah ketika ia berada disini, disamping
kampus dimana calon intelektual
muslim dilahirkan.
Pemilik
langkah kaki itu adalah Mila, seorang mahasiswa jurusan Komunikasi Penyiaran
Islam(KPI). Siang itu, untuk kedua kalinya Mila mendatangi tempat ini. Ruang
ber-AC dengan kursi yang tersedia cukup bayak. Membuat ia dan
teman-temannya memilih untuk mendiskusikan tugas kuliah di tempat ini. “yang
beli satu, sisanya sih ikut nongkrong aja, he,,he,,” tuturnya sambil tertawa.
Senyuman
dan sambutan terlihat diberikan oleh para pelayan, saat ia mendorong pintu. Mila
yang saat itu memakai kerudung hijau lalu mengangguk dan memasukan semua tubuhnya
ketempat itu. Aroma pendingin ruangan tercium saat ia muasuk. Mila lalu
berjalan mencari menu yang dirasa cocok dengan kantongnya. Seketika ada pikiran
untuk melihat jenis minuman apa yang terpampang di lemari pendingin.Ia pernah
mendengar dari seorang temannya jika tempat ini menjual minuman beralkohol.
“pasti ngejual, ko”, ujar seorang temannya yang juga menyebutkan merek dari
minuman tersebut. Tapi ia hanya melihat minuman ringan biasa, seperti minuman
bersoda, susu dan yogurt. Ada yang berasal dari dalam negeri namun tidak
sedikit pula yang berasal dari luar.
Ia
mengambil cup gelas besar lalu menuangkan minuman. Tak lupa ia juga
mengambil satu cap nasi goreng dingin, lalu membawanya ke kasir. “mau dimakan
dimana, mba?”, Tanya seorang kasir. “di atas”, jawab Mila. Setelah membayar dan
mengambil nasi yang telah dihangat, ia lalu berjalan ke lantai dua. Disana
terlihat beberapa meja yang masih kosong,, masing-masing terdiri dari empat
kursi.
Siang
itu hanya terlihat beberapa pengunjung, ada sekelompok mahasiswa yang sedang
mengobrolkan tugas kuliah, ada juga seorang bapak dengan secangkir kopi dan
roti, pasangan muda mudi yang terlihat asyik bersenda gurau dan seorang pria
dewasa yang terlihat sibuk menekan tools pada laptopnya sambil ditemani
beberapa buku dan sekotak teh dingin. Mila mengambil posisi duduk di samping
pria dewasa tadi.
Mila bukan orang yang sering berbelanja
apalagi nongkrong di tempat ini bahkan awalnya ia sama sekali tidak berani
masuk. Selain mengira makanan yang dijual mahal, ia juga ingat akan obrolan
dari salah satu dosen yang khawatir dengan keberadaan tempat ini karena
dianggap akan membawa kultur yang kurang baik bagi mahasiswa. “cenderung
hedon”, ujarnya.
Ada satu hal yang baru disadari mila,
ternyata terdapat tulisan “dilarang membawa/meminum minuman beralkohol” di
dinding. “padahal kata temen saya, tempat ini ngejual, ko “ ujarnya. “di sini
gak ngejual, mba”, kata seorang pelayan saat ditanya apakah menjual menjual
minuman beralkohol.
Klarifikasi
pun keluar dari oleh seorang pria berkaca mata dengan bingkai hitam yang
bernama Sarwani. Sambil tersenyum dia berkata “kita gak ngejual, karena dari
warga meminta kita untuk tidak menjual minuman beralkohol, jadi tergantung
tempat yah, kita tuh Sevel beradaptasi dengan tempat. berada dilingkungan
masjid, lingkungan kampus muslim, kayanya kok kurang pantas” katanya. “kakak,
boleh cek ko, di lemari pendingin, ada gak minuman beralkohol”, tambah Sarwani
yang merupakan asisten manager Sevel Ciputat. (Destri/HR)