photo 90466647-7a9d-4318-b660-7a3da26e60ca_zps9b4ec483.jpg

KPU Sediakan Formulir (A5) Untuk Mahasiswa Rantau

KPU paparkan cara mahasiswa rantau memilih dalam pemilu legislatif

LAPMI Ciputat Kokohkan Direktur Baru

LAPMI Ciputat - Lahir secercah harapan baru saat Pelantikan Pengurus dan Rapat Kerja Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) HMI Cabang Ciputat periode 2014-2015 yang diadakan di Aula Insan Cita (AIC), Ciputat, Jumat (09/05).

 photo ba9b745c-40a0-4c2a-ad44-d217d08bc811_zpsb0fa0578.jpg'/>

Gara-Gara Kaos Distribusi Sertifikat LK 2 Terhambat

LAPMI Ciputat- Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat telah mengadakan Latihan Kader tingkat dua (LK2) yang dilaksanakan pada 1-7 Desember 2013 lalu. Acara dilaksanakan di Aula Insan Cita (AIC).

 photo cca2bc4e-68a3-4d01-b156-0e0d417503b3_zpscf4a2bd5.jpg

HMI Cabang Ciputat Mengenang 67 Tahun Milad HMI

Ceremonial HMI Cabang Ciputat Kenang 67 Tahun Usia HMI.

HUT Tangsel ke-5, Prioritaskan Sektor Pendidikan

Ulang Tahun kota Tangerang Selatan yang ke-5 diselenggarakan di Universitas Terbuka (UT) Pondok Cabe. Diiringi rangkaian acara dimulai sekitar pukul 19.00 dengan Semarak Tangsel, Tangsel aman, Tangselku nyaman 2008-2013.

Sabtu, 08 Desember 2012

Fenomena “Anjal”, Ladang Mengais Receh sang “Orang Tua”

“Bukan lagi pasar, termi­nal, bus atau angkutan kota tempat anak jalanan men­gais recehan. Kini kampus pun jari sasarannya”.
Ciputat – Anak jalanan (anjal) di Indone­sia, kini tak terhitung lagi jumlahnya. Mer­eka tak hanya ada di jalanan ibu kota atau kota-kota besar, tetapi hampir di seluruh pelosok negeri ini mereka ada. Berbagai faktor dan alasan yang menjadikan mer­eka tumpah ruah ke jalanan. Tak hanya faktor kemiskinan tetapi faktor keluarga juga menjadi penyebabnya.

Apong Herlina, wakil ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan, kategori anak jalanan berane­ka ragam. Sebenarnya kriteria anak jalan­an sendiri di Indonesia belum ada definisi khusus. Tetapi biasanya dikatakan anak jalanan adalah anak yang mencari nafkah di jalanan. “Mereka punya keluarga tetapi didorong orang tuanya untuk hidup dan mencari nafkah di jalanan. Anak jalanan murni di Indonesia bisa dihitung dengan jari”. tutur
Mengamen menjadi ciri khas akti­fitas anak jalanan. Tempat-tempat umum menjadi sasaran tempat mereka men­gais recehan. Mulai dari pasar, perempa­tan lampu merah, terminal, halte sampai bus atau angkutan kota. Berbagai cara mereka lakukan agar menarik perhatian orang-orang di sekitarnya untuk sekedar mengasih recehan. Tepuk tangan sembari bernyanyi, memaikan alat musik seder­hana atau sekedar menyanyi dengan suara ala kadarnyalah yang biasanya mereka lakukan.

Di Ciputat, anak jalanan tak hanya bertebaran di jalanan, pasar, bus atau ang­kutan kota. Tetapi anjal di Ciputat sudah merambah ke dalam kampus. Kampus UIN Syarif Hidayatullah salah satunya. Sekitar 10 orang anjal yang mengais re­cehan di ranah kampus. Sering terlihat mereka mengamen pada jam-jam di mana mereka harus sekolah.

Diantara anjal yang sering mengais recehan di dalam kampus adalah anak de­lapan tahun berinsial R dan anak berusia sepuluh tahun berusia U. Mereka bernasib sama tetapi memiliki kisah yang berbeda. R harus mengamen dari pukul 9 pagi sam­pai pukul 7 malam. Orang tuanya menar­getkan 80 ribu perhari. Jika ia pulang tanpa membawa sejumlah uang yang ditarget­kan, maka ia akan mendapatkan hukuman fisik dari oang tuanya. “uang ngamen aku buat uang belanja mamah. dari mamah ditargetin 80 ribu. Kadang-kadang dapet kadang-kadang kagak. Kalau gak dapet digebukin. Aku takut pulang” ujarnya sambil mengusap air matanya.

R harus merelakan waktu sekolahnya. Ia hanya bisa menelan ludah ketika melihat teman sebayanya memakai seragam mer­ah putih. Ia dikelurakan dari sekolahnya karena ketahuan dari pihak sekolah men­gais recehan. “Sekolah aku tau jadi ama kepala sekolah aku dikeluarin “
Meskipun U senasib dengan R tetapi ia masih sedikit beruntung dari pada R. Ia masih berkesempatan sekolah. Biasanya ia memulai ngamen setelah pulang seko­lah. Tetapi U juga mendapatkan target yang harus didapat perharinya. 100 ribu target minimal dari orang tuanya. Huku­man fisik juga kerap menimpa U ketika ia pulang tanpa membawa sejumlah uang yang ditargetkan orang tuanya.

“kalo gak ngamen ya digebukin ama emak, kalau pulang setoran kurang ya gak boleh pulang”, tuturnya.

Ironisnya uang yang mereka dapatkan kebanyakan bukan buat keperluan perut mereka. Tak sedikit dari anjal yang diper­alat orang dewasa disekitarnya termasuk bapak ibunya untuk mengais recehan. “kalau saya yang ngamen ya gak ada yang kasihan neng, saya gak cacat, saya dilihat segar bugar, tapi kalau anak saya yang ngamen kan banyak yang kasihan dan banyak yang ngasih”, tutur ibu anjal bernama R.

Pihak kampus UIN Syarif Hidayatul­lah, belum melakukan tindakan lebih lanjut atas hal ini. Mereka menggap hal ini masih biasa-biasa saja. Tak ada yang tergelitik hatinya. Tak ada yang resah akan keberadaan anjal dalam kampus. Hanya diusir dan dilarang ngecrek dalam kam­pus.
“Saya sudah berkali-kali mengusir send­iri dan memerintahkan kepada kawan-kawan keamanan kampus untuk mengusir anak-anak itu, tapi ya mereka pinter sekali. Mereka selalu kucing-kucingan dengan satpam”, ungkap Satori kepala keamanan kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Siti Napsiyah, pakar sosial sekaligus dos­en UIN Syarif Hidayatullah mengatakan, mereka yang mestinya kampus itu re­sested area, karena wilyah kampus. “Re­sested area itu wilayah yang mestinya ada pelarangan khusus, seperti pengamen dan lainnya. Mereka datang dimungkinkan ada yang nganter, gak mugkin anak-anak itu serta merta tiba di kampus”, ungkap­nya.
“Harusnya kampus mempunyai kebijakan khusus, tidak hanya selesai pada pengu­siran oleh satpam. Tapi juga harus turut menyelesaikan problem sosial yang ada di dalam kampus. Misalnya mengalokasikan KKN mahasiswa dalam penanganan hal ini”, tambahnya.

Mahasiswa pun cenderung cuek dengan kehadiran anak jalanan dalam kampus. Kepedulian mereka hanya sebatas ngasih uang recehan. Diki Direktur Sanggar Kreatif Anak Bangsa (SKAB) yang juga mahasiswa UIN Jakarta mengatakan, ke­beradaan anak kecil yang mengamen di kampus itu sebetulnya teguran bagi teman-teman mahasiswa sebagai kaum intelek­tual. Karena anak-anak itu mengamen di waktu jam masuk sekolah. “Kenapa teman-teman tidak bertanya, kenapa anak-anak itu tidak sekolah? Lalu apa yang har­us mahasiswa lakukan?”tegasnya

Penyelesaian problem sosial anak jalanan sudah dilakukan banyak pihak. Mulai dari jajaran pemerintahan, masyarakat, insti­tusi atau pun organisasi mahasiswa. Tetapi masalah ini tak kunjung selesai. Yang ada makin banyak anak yang tumpah ruah ke jalanan. Entah itu karena alasan men­cari uang atau kabur dari rumah karena ketidakharmonisan dalam keluarga.
Menurut Apong Herlina, anak jalanan sebenarnya dampak dari proses panjang yang ada di hulu. Diantara problem di hulu yang paling ketara adalah kemiski­nan. Berikutnya adalah masalah asuhan dalam rumah tangga. Jadi penyelesaian anak jalanan tak hanya bisa pada hilirnya atau anaknya saja tetapi juga harus meny­entuh hulunya atau faktornya.

Faktor pengasuhan orang tua terhadap anaknya menjadi hal yang paling urgen. Pendidikan tentang perlindungan anak harus dimiliki oleh setiap orang tua sebagai solusinya. Anak tidak akan dieksploitasi jika orang tuanya faham tentang perlind­ungan. “Semiskin apapun orang taunya, anak tidak dibiarkan berlalulang dan hidup di jalanan”, tutur Apong Herlina.

Selain itu, masalah ekonomi yang biasanya menjadikan orang tua tega mengekploitasi anaknya juga harus dicarikan solusi. Pem­berdayakan keluarga agar tidak menjadi pengangguran dan memiliki income seh­ingga tidak lagi mengeksploitasi anaknya. “Penanganan terhadap anak yang sudah menjadi anak jalanan adalah dengan acara rehabilitasi dan dipenuhi kembali haknya untuk mendapatkan pendidikan.”tambah Apong (Nuna)

Hidup Itu Tidak Seperti yang Kita Rencanakan

Pemimpin redaksi Jurnal Populer Plu­alita Avicenna Sabir Laluhu yang dite­mani kader HMI Komisariat Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Komfakda) Cabang Ciputat Tb. Hasan, menyambangi rumah alumni IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan HMI Cabang Ciputat Tb. Ace Hasan Sadz­ily di kediamannya Gria Jakarta jalan Kemang V blok B 7 nomor 3 Pamulang Tangerang Selatan Banten pertengahan Tahun 2012 lalu. Ramah, bersahaja, dan murah senyum kesan itu muncul ketika awal pertama kali pertemuan kamu dengan Ace sapaan akrabnya. Dengan senyum yang tersungging Ace menyapa kami, “Sudah lama ya sampainya?, si­lahkan masuk. Maaf baru sempat melu­angkan waktunya.”
Setelah memasuki rumah kami dipersilahkan untuk duduk berceng­kerama dan bercerita dengan Ace di ruang tamu tentang masa kecil hingga aktivitasnya kini sebagai Staf Dewan Pertimbangan Presiden (watimpres) Bidang Pengembangan dan Pemban­gunan Daerah. Ditemani sang istri Rina Fitria yang sangat dicintainya, Ace ke­mudian menuturkan kisah perjalanan hidupnya.

Kapan Abang dilahirkan? Tttl? Di keluarga seperti apa Abang dibesar­kan?
Saya itu lahir di Labuan tepatnya sih di kampung Jaha, sekitar 2 km dari kota kecamatan. Kalau latar belakang keluarga sih relatif. Kita kental dengan suasana keagamaan karena kebetulan ayah dan ibu saya dianggap sebagai to­koh agama di kampung. Dan kebetulan kita punya pesantren kecil-kecilan. Di situ proses interaksi sosialnya memang lebih kental dengan suasana santri ya. Saya setiap hari selalu digembleng dengan sejumlah nilai-nilai keagamaan yang kuat dan melekat pada diri saya. Cuma, mungkin saya kira yang mem­buat kenapa itu kemudian berpengar­uh terhadap paradigma kehidupan saya adalah karena mungkin ayah saya dan keluarga saya pada umumnya lahir dari sosok pergerakan juga. Ayah saya itu selain sebagai kiai tapi juga dulu aktif di NU. Jadi kalau di Banten itu kan ada konfigurasi kekuatan sosial politaknya itu kan ada NU, Muhammadiyah, dan juga Mathla’ul Anwar.

Prinsip hidup yang Abang pegang hingga saat ini?
Diantara keluarga kami misalnya dari anak-anak yang hingga saat ini jika prinsip dia sudah belajar dan menda­patkan ilmu, ya kerjakanlah dengan keyakinan yang dimiliki. Jadi prinsip-prinsip itu yang tertanam kuat pada diri kami dan saya merasakan itu ya seperti yang sekarang ini. Kami selalu diajarkan hidup mandiri, ya misalkan sejak lulus SD, pesantren dan lulus ku­liah saya jarang tinggal dirumah. Jadi dari situlah kami merasa pendidikan kemandirian ditanamkan.

Apa cita-cita Abang sebelum kuliah?
Cita-cita saya masih kecil ya saya meneruskan apa yang telah dirintis oleh ayah saya, ya sederhana lah, kar­enakan tipe atau sosok saya kaya ayah saya, ngaji,disukai masyarakat jadi ora­tor ulung. Jadi hidup itu nggak seperti yang direncanakan juga.

Kenangan masa kecil hingga sebe­lum masuk UINJakarta, seperti apa?
Ya kalo yang paling berkesan buat saya sebenernya banyak, tetapi proses penggemblengan aktifisme yang dimu­lai dari SMP sampai dikampus itu. Lalu saya tidak pernah membayangkan saya bisa jadi seorang aktifis seperti seka­rang karena dulu saya hanya punya cita-cita sederhana saya ingin seperti ayah saya. Saya sudah mau selesai ku­liah tahun ’98 lalu saya ingat, saat saya balik kekampung mau menyelesaikan skripsi saya dan tiba-tiba teman saya dikampus telepon minta CV da foto saya, saya ga tau buat apa. Lalu saya sudah menyelesaikan skripsi saya 3 bab dan balik ke Ciputat, dan saya kaget ketika di pintu gerbang kampus terpampang banyak sekali foto saya sebagai calon pesiden mahasiswa. Saya tidak pernah punya keinginan untuk itu, karena saya berpikir tugas saya selesai sebagai aktifis setelah menurunkan Soeharto. Tetapi ternyata saya datang ke kampus foto saya sudah dimana-mana diusung sama teman-teman HMI sebagai calon Presiden mahasiswa yang berangga­pan tidak ada lagi orang yang mampu semagat reformasi dikampus. “okelah saya maju, bismillah” dan pada saat itu menang mutlak, saya dapat 1800, la­wan saya cuma dapat 175 dan 89.

Mengapa Abang memilih untuk masuk ke UIN Jakarta?
Dulu sebenarnya saya tidak mau masuk UIN,saya masih ingat tahun ’94 saya keluar SMA, kalau liburan sekolah dulu itu saya sering ke Jogja, jadi saya ingin ke Jogja. Saya daftar di UGM, ta­kut ga diterima di UGM saya daftar juga di UII ambil Hukum. Di UGM ambil Fil­safat dan saya daftar juga di UIN Jogja, jadi saya daftar tiga-tiganya. Setelah pendaftaran saya balik ke Labuan saya tunggu informasi diterima atau tidak, tiba-tiba ayah saya datang beliau bilang daftar di UIN Jakarta dulu IAIN. Saya in­gat ada senior saya namanya Saiful Mu­jani datang jemput dan disuruh ayah saya ikut daftar, awalnya saya bilang Ga’ mau . malam-malam saya berang­kat ke Jakarta dan saya daftar di IAIN Jakarta. Hari senin tes, dan dua minggu kemudian surat itu semua datang bera­maan, di UGM diterima, di UII diterima semua diterima termasuk IAIN Jakarta. Saya tanya ke ayah saya, “bagaimana ini?”, “udah di IAIN Jakata saja” kata ayah saya, yaudah saya ke Jakarta. Jadi dulu saya ga pernah niat masuk IAIN Jakarta.

Apa yang paling berat dalam men­jalankan amanah sebagai Presiden Mahasiswa?
Tidak ada sesuatu yang berat kalu kita mau menjalani dengan baik. Hal yang terpenting menurut saya adalah kemauan keras kita untuk melaksana­kan itu sesuai dengan kapasitas yang kita miliki. Satu hal yang membuat ke­napa kita mampu untuk membangun dan mengelola sesuatu itu menjadi leb­ih baik itu karena kita ga bisa berjalan sendiri, ada hal yang memang perlu kita kerjasamakan. Mungkin pada saat itu saya jadi presiden mahasiswa tidak akan berhasil jika tidak ada teman-te­man saya seperti Burhanudin Muhtadi sebagai menteri intelektual waktu itu, kemudian Imam Suyuti sebagai men­teri kemahasiswaan, Ali Irfan Menteri Hubungan Antar Lembaga, kemudian Andri Syafrani Menteri Hukum. Dan jadi orang-orang itu yang membantu saya, saya dan mereka membangun sebuah tim yang kemudian proses-proses itu­lah yang menjadi pembelajaran-pmbe­lajaran untuk kita.

Gerakan mahasiswa dan intelektu­alitas di masa itu seperti apa?
Ya itu yang saya rasakan. Mung­kin suasana zaman waku itu yang me­mungkinkan intelektualisme dan ak­tifisme berjalan beriringan. Saya dulu lebih banyak aktif di FORMACI, LSADI. Dan di Ciputat dulu menjamur sekali kelompok-kelompok study, anak PMII bikin PIRAMIDA ada Lespendeo dan macem-macem lah kelompok study itu.

Apakah ada bayangan atau keingi­nan Abang menjadi watimpres?
Gini, saya itu kan tahun 2009 gagal jadi anggota DPR RI tapi buat saya sih ga ada masalah dan saya tidak seperti orang lain yang stress, perbedaan suara saya dengan di atas saya itu sangat ti­pis sekali, kata teman-teman kesalahan saya cuma satu karena saya ga mau curang, ya bagi saya ga ada masalah. Buat saya itu bagian dari pembelajaran politik untuk masyarakat, dan di situ saya bisa tau proses interaksi dengan masyarakat, bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat itu. Dan ini jadi tantangan untuk tetap aktif di dunia politik karena persoalan-persoalan seperti inilah yang harus diselesaikan oleh pendekatan politik, soal kemiski­nan, soal keterbelakangan dan seba­gainya. Kalau tanpa politik saya punya keyakinan kita tidak bisa menyelesai­kan persoalan bangsa ini.

Pada bidang apa konsentrasi ker­janya?
Saya menangani pembangunan otonomi daerah, banyak hal yang saya berikan masukan kepada Presiden, tentang berbagai isu-isu yang terkait tentang pembangunan otonomi daer­ah. Misalnya tentang jalannya otonomi daerah sekarang, banyak hal misalnya alokasi pembangunan daerah yang tidak terarah, tidak ada sinkronisasi pemerintah pusat dengan daerah, tidak berlangsungnya proses pembangunan yang diharapkan, oleh karena itu saya memberikan masukan kepada bapak presiden tentang bagaimana organisasi pemerintahan dan manajemen pem­bangunan ini harus dibenahi

Bagaimana Abang melihat pekerjaan tersebut?
Salah satu yang paling utama ada­lah ketika di tengah keruwetan peker­jaan yang luar biasa, itu adalah ketika saya bisa melihat bagaimana kesulitan yang dialami oleh rakyat, walaupun saya tidak bisa berbuat apa-apa tapi ke­mudian dari situlah kita selalu di asah nurani kita supaya tetap tidak keluar dari hati nurani rakyat.

Setelah Abang menjadi watimpres dan mengunjungi daerah-daerah, bagaimana Abang melihat Indone­sia?
Saya melihat indonesia itu tentu dari banyak persepektif, saya selain keliling Indonesia juga berkesempatan jalan keluar negeri, saya pernah men­gunjungi Jepang, Amerika, negara-neg­ara tetangga. Dan proses saya melihat Indonesia itu ketika membandingkan dengan negara-negara itu saya selalu menangis, saya melihat bagaimana mis­alnya saya jalan ke Papua Barat, di sana ada pulau terindah di Raja Ampat itu, dan saya pernah jalan juga ke Wakatoli itu juga indah sekali. Dari situ saya bisa melihat betapa kayanya bangsa Indone­sia dan itu saya kira tidak dimiliki oleh negara lain. Tapi masalahnya adalah kekayaan bangsa kita ini tidak mampu dikelola dengan baik. Ada yang salah tentang pengelolaan bangsa ini, nyaris kita ga punya visi sebagai sebuah bang­sa, mau dibawa kemana arah bangsa kita

Abang adalah salah satu pionir ko­munitas AIC, bagaimana Abang me­lihat komunitas ini?
Saya Masuk HMI tahun ‘94. Dulu ketika di HMI itu ada faksi-faksi, dan saya ini kan ga punya faksi apa-apa tapi mampu menjadi gerbong untuk teman-teman. Waktu saya naik jadi Presiden mahasiwa saya tidak didukung oleh HMI, tidak didukung oleh cabang ter­masuk kebijakan saya ketika menjabat. Dan akhirnya teman-teman HMI saya fasilitasi, kita berdiskusi di Aula Insan Cita, dari sinilah kita menjadi satu ko­munitas.

Pandangan Abang tentang KAHMIdan HMIseperti apa?
Seharusnya KAHMI itu ga usah ikut-ikutan untuk mencampuri, menginter­vensi teman-teman HMI. KAHMI tidak perlu mencampuri urusan-urusan in­ternal HMI, apalagi mengintervensi un­tuk kepentingan politik KAHMI. Untuk permasalahan teman-teman HMI harus menyelesaikan sendiri.

Bagaimana pendapat Abang tentang gerakan mahasiswa saat ini?
Pertama bahawa gerakan maha­siswa itu harus ditempatkan dalam sebuah gerakan moral, gerakan mahasi­wa itu bukan gerakan politik. Kemudian gerakan mahasiswa akan berkembang jika memang situais politiknya me­mungkinkan gerakan mahasiwa itu un­tuk eksis. Di negara demokratis gerakan mahasiswa pasti punya posisi yang san­gat strategis karena peran kritis, peran keseimbangan politik kalo secara for­malnya oleh partai oposisi kalau secara tidak formalnya oleh kelompok civil so­ciety dimana mahasiswa masuk keda­lamnya. Harapan saya untuk gerakan mahasiswa sekarang khusunya teman-teman HMI perkuat kapasitas keilmuan yang mereka miliki,

Statement Abang terakhir dalam wawancara ini untuk mahasiswa dan kader HMI?
Pesan saya sederhana, lakukan­lah yang terbaik apa yang diamanah­kan oleh orang tehadap kita, dan kedua perbaiki diri dan jadilah orang yang bermanfaat untuk orang lain. (AF)

“Kami gak Jual Miras Kok”

 
Langkah kaki sejenak ter­henti ketika ia memandang sebuah mini marketyang baru saja dibuka beberapa bulan lalu. Mini marketmilik asing namun tidak asing lagi di Idonesia. Namun yang menarik adalah ketika ia berada disini, disamping kampus dimana calon intelektual muslim dilahirkan.
Pemilik langkah kaki itu adalah Mila, seorang mahasiswa jurusan Ko­munikasi Penyiaran Islam(KPI). Siang itu, untuk kedua kalinya Mila menda­tangi tempat ini. Ruang ber-AC dengan kursi yang tersedia cukup bayak. Mem­buat ia dan teman-temannya memilih untuk mendiskusikan tugas kuliah di tempat ini. “yang beli satu, sisanya sih ikut nongkrong aja, he,,he,,” tuturnya sambil tertawa.
Senyuman dan sambutan terli­hat diberikan oleh para pelayan, saat ia mendorong pintu. Mila yang saat itu memakai kerudung hijau lalu men­gangguk dan memasukan semua tu­buhnya ketempat itu. Aroma pendingin ruangan tercium saat ia muasuk. Mila lalu berjalan mencari menu yang dirasa cocok dengan kantongnya. Seketika ada pikiran untuk melihat jenis minuman apa yang terpampang di lemari pendin­gin.Ia pernah mendengar dari seorang temannya jika tempat ini menjual mi­numan beralkohol. “pasti ngejual, ko”, ujar seorang temannya yang juga me­nyebutkan merek dari minuman terse­but. Tapi ia hanya melihat minuman ringan biasa, seperti minuman bersoda, susu dan yogurt. Ada yang berasal dari dalam negeri namun tidak sedikit pula yang berasal dari luar.
Ia mengambil cup gelas besar lalu menuangkan minuman. Tak lupa ia juga mengambil satu cap nasi goreng dingin, lalu membawanya ke kasir. “mau dima­kan dimana, mba?”, Tanya seorang kasir. “di atas”, jawab Mila. Setelah membayar dan mengambil nasi yang telah dihan­gat, ia lalu berjalan ke lantai dua. Disana terlihat beberapa meja yang masih ko­song,, masing-masing terdiri dari em­pat kursi.
Siang itu hanya terlihat beberapa pengunjung, ada sekelompok maha­siswa yang sedang mengobrolkan tugas kuliah, ada juga seorang bapak dengan secangkir kopi dan roti, pasangan muda mudi yang terlihat asyik bersenda gurau dan seorang pria dewasa yang terlihat sibuk menekan tools pada laptopnya sambil ditemani beberapa buku dan sekotak teh dingin. Mila mengambil po­sisi duduk di samping pria dewasa tadi.
Mila bukan orang yang sering ber­belanja apalagi nongkrong di tempat ini bahkan awalnya ia sama sekali tidak berani masuk. Selain mengira makanan yang dijual mahal, ia juga ingat akan obrolan dari salah satu dosen yang kha­watir dengan keberadaan tempat ini karena dianggap akan membawa kul­tur yang kurang baik bagi mahasiswa. “cenderung hedon”, ujarnya.
Ada satu hal yang baru disadari mila, ternyata terdapat tulisan “dilarang membawa/meminum minuman beral­kohol” di dinding. “padahal kata temen saya, tempat ini ngejual, ko “ ujarnya. “di sini gak ngejual, mba”, kata seorang pelayan saat ditanya apakah menjual menjual minuman beralkohol.
Klarifikasi pun keluar dari oleh seorang pria berkaca mata dengan bingkai hitam yang bernama Sarwani. Sambil tersenyum dia berkata “kita gak ngejual, karena dari warga meminta kita untuk tidak menjual minuman be­ralkohol, jadi tergantung tempat yah, kita tuh Sevel beradaptasi dengan tem­pat. berada dilingkungan masjid, ling­kungan kampus muslim, kayanya kok kurang pantas” katanya. “kakak, boleh cek ko, di lemari pendingin, ada gak minuman beralkohol”, tambah Sarwani yang merupakan asisten manager Sev­el Ciputat. (Destri/HR)